Kamis, 24 Oktober 2013

Lullaby In Diaphanous



Semilir angin itu menggelitik wajah, memainkan surai cokelat yang terjatuh indah di wajah pucat pualam miliknya.
Mata itu terpejam damai, menyembunyikan atensi hijau emerald miliknya.
Suara dedaunan dan rerantingan yang terinjak terdengar semakin keras, memberikan sinyal-sinyal ke indera rungunya.
Gadis yang dinantikannya itu akhirnya datang juga.

.
.
Lullaby in Diaphanous
By
Dee Macmillan
.
 .

    Naomi Avery terkesiap ketika atensi musim gugurnya menangkap siluet pemuda berambut cokelat dibawah cahaya bulan. Pemuda itu membelakanginya, namun postur tubuhnya mengisyaratkan seolah penantian yang tak berujung.
Alex Keynes telah berada disana, menunggunya. Seakan ia telah mengetahui kapan dan dimana tepatnya Naomi akan datang.
Padahal, secara teknis Naomi tidak pernah memberitahukan informasi dimana ia berada. “Bagaimana bisa kau–?”
“–Berada disini?” gumam pemuda itu. “Kurasa aku sudah memberitahumu Avery, bahwa telepati kita memang sangat kuat,”
Naomi Avery berjalan perlahan-lahan menuju Alex. Namun turut menjaga jarak dengan pemuda itu.
“Kau tahu aku akan kesini?” tanya Naomi dengan suara kecil. Pikiran buruk mulai berseliweran dibenaknya. Ia berusaha mengenyahkan realita-realita yang mungkin akan terealisasi esok pagi–
Tidak. Bukan saatnya Naomi memikirkan itu. Naomi menyelipkan helai brunette ke belakang telinganya, kemudian mendesah lamat-lamat.
“Tidak,” Alex terdiam sejenak. “Aku–“
Akhirnya manik hijau emerald yang terpejam itu terbuka, menghujam manik cokelat musim gugur milik Naomi. “Hanya tahu.”
Untuk sepintas Naomi melihat manik hijaunya itu memancarkan kesakitan. Seolah mencerminkan apa yang Naomi rasakan.
Kesakitan,
Kegetiran,
Ketidakberdayaan.
Sampai kapan pun cinta mereka tidak akan pernah bersatu. Bahkan sampai detik ini, frase ‘Aku mencintaimu,’ tidak pernah terucapkan satu sama lain.
Karena, tentu saja frase itu terlalu tabu untuk dieja.
“Kita datang kesini untuk melupakan realita. Jadi, mari kita lupakan dunia nyata sejenak.” Alex mendekati Naomi, menipiskan bentang jarak yang tercipta.
Kemudian atensi milik Naomi menatap paras milik pewaris Keynes itu.
Naomi tidak mempu menahan dirinya untuk tidak mengagumi setiap senti keindahan wajah maskulin itu. Pahatan yang nyaris sempurna. Ada keangkuhan di wajahnya, namun Naomi bisa melihat bahwa keangkuhan itu hanyalah kamuflase belaka.
Kamuflase dari kerapuhan yang ada didalamnya. Bahkan, Naomi bisa melihat keletihan dikening dan sudut-sudut matanya.
Namun Naomi memilih untuk memejamkan mata, dan membiarkan angin malam mencumbu setiap inchi tubuhnya.
Dan sergapan bebunyian dunia malam menerpanya.
Siulan angin,dehaman burung hantu, keretakan ranting, dan juga kepakan sayap serangga yang terdengar mendominasi.
Kemudian –sesederhana itu–, ia merasa sebagian dari bebannya terangkat.
“Sekarang kau mengerti mengapa aku menghabiskan sebagian waktuku disini,” kata Alex, masih dengan menatap Naomi. “Melodi-melodi di danau ini.. semuanya bagaikan lagu pengantar tidur.”
Naomi tak menjawab.
“Semuanya menghilangkan kepenatanku,” tutup Alex.
Naomi membuka mulutnya. “Dan hanya karena itu kau menemuiku disini?”
“Sebagian ya. Di awal-awal pertemuan kita, aku berjanji padamu untuk memproyeksikan alasanku padamu, tentang mengapa aku suka kesini.”
Perlahan-lahan, senyum manis terkembang dibibir Naomi. Pikirannya melayang ke pertemuan mereka yang pertama –beberapa bulan yang lalu. Semuanya terasa begitu cepat, padahal pertemuan itu berlangsungtidak lebih dari setahun yang lalu.
“Dan sebagian lagi tidak,” lanjut Alex.
“Kenapa tidak?” tanya Naomi, sambil menatap wajah Alex. Tanpa ia sadari, jarak dirinya dan Alex semakin dekat.
“Lihatlah ke langit,” jawab Alex pendek.
Maka Naomi menengadahkan kepalanya, dan maniknya membulat.
Bintang-bintang terhampar di kanvas langit malam. Dan gadis itu lebih terperangah lagi melihat konstelasi yang terbentang diatas.
Konstelasi Aquilla.
“Konstelasi yang dilihat ibuku saat mengandungku. Dan jika aku mempunyai anak perempuan aku akan menamainya Aquilla.”
Naomi tercekat. Dilanjutkan dengan perasaan hangat yang menjalari setiap persendiannya. Mungkin Alex tidak menyadari bahwa Naomi merasa tersentuh dengan cerita Alex tentang bagian dari kehidupannya.
“Memang indah sekali,” bisik Naomi.
Alex menoleh kearahnya dan memandangnya tanpa berkedip. “Tidak sepenuhnya.”
“..Mengapa tidak?”
Mata Alex bersinar dengan hasrat dalam kegelapan. “Karena ada yang menandingi keindahan konstelasi itu,” bisik Alex perlahan.
Perlahan tangan Alex terulur untuk memeluk Naomi, dan Naomi menyambut pelukan Alex.
“Apa kau kedinginan?” Alex bergumam, memejamkan mata dan mempererat rangkulan tangannya dipinggang gadis itu.
“Kalau begini posisinya, tentu saja tidak.”
Pemuda itu mendesah perlahan. Menyadari bahwa waktu semakin berlalu. Dan esok pagi, ia harus kembali menghadapi realita.
“Ada masalah apa, Alex?” tanya Naomi lembut, walaupun dirinya merasa topik menyakitkan itu akan diungkit lagi.
Alex terdiam sejenak, kemudian membuka matanya. Belaian tangan Naomi di punggungnya lah yang membuat pertahanan Alex hancur.
“Aku tak ingin datang besok,” suaranya bergetar.
Naomi mendesah. Ia menjauhkan tubuhnya dengan berat hati, dan jarak diantara mereka pun kembali tercipta.
“Tapi kau harus datang, Alex.” Naomi menghela napas. Jarinya bergerak ke pipi sang pemuda, membelainya perlahan. “Ini semua demi keluargamu.”
Alex menempelkan keningnya di kening Naomi.”Apakah egois kalau aku.. untuk sekali ini tidak melaksanakan titah mereka, Na?”
Naomi terdiam.
Ia tidak ingin kehilangan Alex. Namun, ia juga tidak ingin membuat Alex menjadi anak yang pembangkang terhadap titah orang tuanya.
“Andai Dee adalah dirimu,” bisik Alex ditelinga Naomi. “Dan andai aku bisa menyentuhmu seperti gadis-gadis jalang yang merayuku.”
Naomi menghela napas berat. Menjauhkan wajahnya dari Alex. Pemuda itu membuatnya terlena. “Dan aku tahu aku takkan mampu untuk menolakmu.”
“Tapi aku lah yang takkan mampu menyentuhmu, Na. Kau terlalu berharga untukku, dan selamanya kau akan menjadi yang tak tersentuh.”
Terdengar bel berdentang. Menandakan tengah malam.
“Tengah malam,” bisik Alex tak rela.
Naomi memasang senyum tegar. Tengah malam. Waktu yang mengakhiri semuanya. Waktu yang berharga yang dilewatkan bersama pemuda itu. Dan esok, mereka berdua harus menapaki realita yang lebih sulit.
Naomi melepaskan tangan Alex di pinggangnya. Mengecup tangan itu lembut. Lalu memandang pangerannya. “Saatnya Cinderella kembali pada penderitaannya.”

.
.

Alex kembali ke penthouse-nya.

Tak ada salam perpisahan.
Tak ada kata cinta.

Ketika Alex membuka kamarnya, pandangannya jatuh pada sesuatu yang ada diatas meja belajarnya. Ia memandang surat undangan berbahan kertas mahal, berwarna hijau tosca.

Dengan ini, kami secara hormat mengundang anda untuk menghadiri:
Pesta pertunangan.
Alex Keynes
(Putera dari Randal Keynes)
&
Dee Macmillan
(Puteri dari Ernie Macmillan)

Dan tanpa ragu Alex merobek kertas undangan itu menjadi serpihan kecil dan melemparkannya ke perapian. Lalu ia mengambil sebuah kertas.

Sampai kapan pun, kau akan selalu menjadi melodi pengantar tidurku dalam keheningan. Kau lebih cantik dari purnama diatas danau, lebih indah dari simfoni hutan, dan lebih suci dari bidadari diatas awan.
Semoga kau selalu bahagia.
Alex

Melipat surat itu. Alex merayap ke kasurnya dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan tejadi esok pagi dengan nelangsa.
Ia mengirimkan surat terakhir itu untuk Naomi, dan membuang pergi seluruh kenangannya, seluruh cintanya. Mereka berdua harus tetap maju.
Namun Alex tidak akan membuang kenangan yang satu itu– 
Kenangan dimana seorang Naomi Avery dapat menandingi simfoni hutan dan cerahnya sinar bulan purnama, ditepi danau. Dan suaranya bagaikan melodi pengantar tidur yang memecah kehampaan hatinya.

- Finish -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar