Semilir angin itu menggelitik wajah, memainkan
surai cokelat yang terjatuh indah di wajah pucat pualam miliknya.
Mata itu terpejam damai, menyembunyikan atensi
hijau emerald miliknya.
Suara dedaunan dan rerantingan yang terinjak
terdengar semakin keras, memberikan sinyal-sinyal ke indera rungunya.
Gadis yang dinantikannya itu akhirnya datang
juga.
.
.
Lullaby in Diaphanous
By
Dee Macmillan
.
.
Naomi Avery terkesiap ketika atensi musim gugurnya menangkap
siluet pemuda berambut cokelat dibawah cahaya bulan. Pemuda itu
membelakanginya, namun postur tubuhnya mengisyaratkan seolah penantian yang tak
berujung.
Alex Keynes telah berada disana, menunggunya.
Seakan ia telah mengetahui kapan dan dimana tepatnya Naomi akan datang.
Padahal, secara teknis Naomi tidak pernah
memberitahukan informasi dimana ia berada. “Bagaimana bisa kau–?”
“–Berada disini?” gumam pemuda itu. “Kurasa
aku sudah memberitahumu Avery, bahwa telepati kita memang sangat kuat,”
Naomi Avery berjalan perlahan-lahan menuju
Alex. Namun turut menjaga jarak dengan pemuda itu.
“Kau tahu aku akan kesini?” tanya Naomi dengan
suara kecil. Pikiran buruk mulai berseliweran dibenaknya. Ia berusaha
mengenyahkan realita-realita yang mungkin akan terealisasi esok pagi–
Tidak. Bukan saatnya Naomi memikirkan itu. Naomi
menyelipkan helai brunette ke belakang telinganya, kemudian mendesah
lamat-lamat.
“Tidak,” Alex terdiam sejenak. “Aku–“
Akhirnya manik hijau emerald yang terpejam itu
terbuka, menghujam manik cokelat musim gugur milik Naomi. “Hanya tahu.”
Untuk sepintas Naomi melihat manik hijaunya
itu memancarkan kesakitan. Seolah mencerminkan apa yang Naomi rasakan.
Kesakitan,
Kegetiran,
Ketidakberdayaan.
Sampai kapan pun cinta mereka tidak akan
pernah bersatu. Bahkan sampai detik ini, frase ‘Aku mencintaimu,’ tidak pernah
terucapkan satu sama lain.
Karena, tentu saja frase itu terlalu tabu
untuk dieja.
“Kita datang kesini untuk melupakan realita.
Jadi, mari kita lupakan dunia nyata sejenak.” Alex mendekati Naomi, menipiskan
bentang jarak yang tercipta.
Kemudian atensi milik Naomi menatap paras
milik pewaris Keynes itu.
Naomi tidak mempu menahan dirinya untuk tidak
mengagumi setiap senti keindahan wajah maskulin itu. Pahatan yang nyaris
sempurna. Ada keangkuhan di wajahnya, namun Naomi bisa melihat bahwa keangkuhan
itu hanyalah kamuflase belaka.
Kamuflase dari kerapuhan yang ada didalamnya.
Bahkan, Naomi bisa melihat keletihan dikening dan sudut-sudut matanya.
Namun Naomi memilih untuk memejamkan mata, dan
membiarkan angin malam mencumbu setiap inchi tubuhnya.
Dan sergapan bebunyian dunia malam menerpanya.
Siulan angin,dehaman burung hantu, keretakan
ranting, dan juga kepakan sayap serangga yang terdengar mendominasi.
Kemudian –sesederhana itu–, ia merasa sebagian
dari bebannya terangkat.
“Sekarang kau mengerti mengapa aku
menghabiskan sebagian waktuku disini,” kata Alex, masih dengan menatap Naomi.
“Melodi-melodi di danau ini.. semuanya bagaikan lagu pengantar tidur.”
Naomi tak menjawab.
“Semuanya menghilangkan kepenatanku,” tutup
Alex.
Naomi membuka mulutnya. “Dan hanya karena itu
kau menemuiku disini?”
“Sebagian ya. Di awal-awal pertemuan kita, aku
berjanji padamu untuk memproyeksikan alasanku padamu, tentang mengapa aku suka
kesini.”
Perlahan-lahan, senyum manis terkembang
dibibir Naomi. Pikirannya melayang ke pertemuan mereka yang pertama –beberapa
bulan yang lalu. Semuanya terasa begitu cepat, padahal pertemuan itu
berlangsungtidak lebih dari setahun yang lalu.
“Dan sebagian lagi tidak,” lanjut Alex.
“Kenapa tidak?” tanya Naomi, sambil menatap
wajah Alex. Tanpa ia sadari, jarak dirinya dan Alex semakin dekat.
“Lihatlah ke langit,” jawab Alex pendek.
Maka Naomi menengadahkan kepalanya, dan
maniknya membulat.
Bintang-bintang terhampar di kanvas langit malam. Dan gadis itu
lebih terperangah lagi melihat konstelasi yang terbentang diatas.
Konstelasi Aquilla.
“Konstelasi yang dilihat ibuku saat
mengandungku. Dan jika aku mempunyai anak perempuan aku akan menamainya
Aquilla.”
Naomi tercekat. Dilanjutkan dengan perasaan
hangat yang menjalari setiap persendiannya. Mungkin Alex tidak menyadari bahwa
Naomi merasa tersentuh dengan cerita Alex tentang bagian dari kehidupannya.
“Memang indah sekali,” bisik Naomi.
Alex menoleh kearahnya dan memandangnya tanpa
berkedip. “Tidak sepenuhnya.”
“..Mengapa tidak?”
Mata Alex bersinar dengan hasrat dalam
kegelapan. “Karena ada yang menandingi keindahan konstelasi itu,” bisik Alex
perlahan.
Perlahan tangan Alex terulur untuk memeluk
Naomi, dan Naomi menyambut pelukan Alex.
“Apa kau kedinginan?” Alex bergumam,
memejamkan mata dan mempererat rangkulan tangannya dipinggang gadis itu.
“Kalau begini posisinya, tentu saja tidak.”
Pemuda itu mendesah perlahan. Menyadari bahwa
waktu semakin berlalu. Dan esok pagi, ia harus kembali menghadapi realita.
“Ada masalah apa, Alex?” tanya Naomi lembut,
walaupun dirinya merasa topik menyakitkan itu akan diungkit lagi.
Alex terdiam sejenak, kemudian membuka
matanya. Belaian tangan Naomi di punggungnya lah yang membuat pertahanan Alex
hancur.
“Aku tak ingin datang besok,” suaranya
bergetar.
Naomi mendesah. Ia menjauhkan tubuhnya dengan
berat hati, dan jarak diantara mereka pun kembali tercipta.
“Tapi kau harus datang, Alex.” Naomi menghela
napas. Jarinya bergerak ke pipi sang pemuda, membelainya perlahan. “Ini semua
demi keluargamu.”
Alex menempelkan keningnya di kening
Naomi.”Apakah egois kalau aku.. untuk sekali ini tidak melaksanakan titah
mereka, Na?”
Naomi terdiam.
Ia tidak ingin kehilangan Alex. Namun, ia juga
tidak ingin membuat Alex menjadi anak yang pembangkang terhadap titah orang
tuanya.
“Andai Dee adalah dirimu,” bisik Alex
ditelinga Naomi. “Dan andai aku bisa menyentuhmu seperti gadis-gadis jalang
yang merayuku.”
Naomi menghela napas berat. Menjauhkan
wajahnya dari Alex. Pemuda itu membuatnya terlena. “Dan aku tahu aku takkan
mampu untuk menolakmu.”
“Tapi aku lah yang takkan mampu menyentuhmu,
Na. Kau terlalu berharga untukku, dan selamanya kau akan menjadi yang tak
tersentuh.”
Terdengar bel berdentang. Menandakan tengah
malam.
“Tengah malam,” bisik Alex tak rela.
Naomi memasang senyum tegar. Tengah malam.
Waktu yang mengakhiri semuanya. Waktu yang berharga yang dilewatkan bersama
pemuda itu. Dan esok, mereka berdua harus menapaki realita yang lebih sulit.
Naomi melepaskan tangan Alex di pinggangnya.
Mengecup tangan itu lembut. Lalu memandang pangerannya. “Saatnya Cinderella
kembali pada penderitaannya.”
.
.
Alex kembali ke penthouse-nya.
Tak ada salam perpisahan.
Tak ada kata cinta.
Ketika Alex membuka kamarnya, pandangannya
jatuh pada sesuatu yang ada diatas meja belajarnya. Ia memandang surat undangan
berbahan kertas mahal, berwarna hijau tosca.
‘Dengan
ini, kami secara hormat mengundang anda untuk menghadiri:
Pesta
pertunangan.
Alex
Keynes
(Putera
dari Randal Keynes)
&
Dee
Macmillan
(Puteri
dari Ernie Macmillan)’
Dan tanpa ragu Alex merobek kertas undangan
itu menjadi serpihan kecil dan melemparkannya ke perapian. Lalu ia mengambil
sebuah kertas.
Sampai kapan pun, kau akan selalu
menjadi melodi pengantar tidurku dalam keheningan. Kau lebih cantik dari
purnama diatas danau, lebih indah dari simfoni hutan, dan lebih suci dari
bidadari diatas awan.
Semoga kau selalu bahagia.
Alex
Melipat surat itu. Alex merayap ke kasurnya
dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan tejadi esok pagi dengan
nelangsa.
Ia mengirimkan surat terakhir itu untuk Naomi,
dan membuang pergi seluruh kenangannya, seluruh cintanya. Mereka berdua harus
tetap maju.
Namun Alex tidak akan membuang kenangan yang
satu itu–
Kenangan dimana seorang Naomi Avery dapat
menandingi simfoni hutan dan cerahnya sinar bulan purnama, ditepi danau. Dan
suaranya bagaikan melodi pengantar
tidur yang memecah kehampaan hatinya.
- Finish -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar